Sejarah Samalanga
Selasa, 03 April 2012
0
komentar
Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.
Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah.
Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru
berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga
tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek.
Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga,
Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang
terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Pocut Meuligo Pahlawan Wanita Aceh
Paling
tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi
perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang
pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang
masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia
bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.
Lamanya Samalanga bertahan dan serangan Belanda tidak terlepas dan peran kepemimpinan Pocut Meuligo yang pantang menyerah dan selalu memompa semangat juang rakyatnya dengan tetap bersandar kepada kekuatan Allah SWT sebagai hamba yang beriman kepada-Nya.***
Tun
Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga. Sebenarnya dia
seorang Bendahara di Kerajaan Johor. Nama aslinya adalah Tun Muhammad.
Dia diangkat menjadi raja Samalanga pada tahun 1615. Kisah Tun Sri
Lanang ini diambil dari rangkuman beberapa penulis. Ini dia kisahnya.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis
menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan
diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut saja Pahang,
Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan
Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan
tanpa perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah
Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk
membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini
dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar
negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar
Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun
1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya,
Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa
lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri
yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik, luar
negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan pengaturan
hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut
pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang
akan diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan
masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang
telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya Sultan
Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan
Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang
ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki, India,
Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam
kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan
diplomatik dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu
dan bertentangan dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh
Dalam Sejarah).
Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai
tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh
sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Trenggano. Populasi
penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan
baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi
ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan
Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor,
pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin
Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar
negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri
Kamaliah (Putroe Phang) dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad
kemudian dipindahkan ke Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan
Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke Samalanga atas saran dari putri
Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna
mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan
rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat
dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga
alim dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan
penunjukan tersebut akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur
Aceh.
Namun penunjukkan Tun Sri Lanang sebagai raja tidak serta merta
berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan dari beberapa tokoh
masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru menginginkan
kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut kisah
dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan
sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai
membuka negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan
siapa diantara mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga.
Diantara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan
Samalanga dan daerah takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan
pendapat.
Demi mengatasi perselisihan tersebut, atas saran masyarakat, kedua
belas orang panitia tersebut kemudian menghadap sultan Iskandar Muda.
Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada sultan, yang akan
menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan
Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga ketelinga
Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh
masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan
ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok
Bendahara, yang bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya
sendiri. Siasat pun diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun
Sri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, di sana dia harus
berpura-pura sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat
bintang.
Berdasarkan rencana Putri Pahang, Tun Sri Lanang harus sampai duluan
di Samalanga dan ke dua belas tokoh masyarakat tersebut diusahakan
menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar ke Kuala Aceh menghadap
Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama, berangkatlah dua belas
orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang pawang dari
kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian
bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu
meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi
uleebalang pertama Samalanga.
Setelah meminta pendapat orang – orang besar kerajaan dan Puteri
Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu dari mereka menjadi Raja
pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin kerajaan yang telah
disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking mereka. Mereka
lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan tersebut
terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut.
Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak
dibawa ke balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang
masih ada tukang perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan
kehadapan Sultan. Dia mencoba cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok
untuk jari kelingkingnya. Karena itu kemudian Sultan Iskandar Muda
menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama Samalanga. Namun sewaktu
mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di tengah laut di
kawasan Laweung.
Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai
Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh
Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri
Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa
Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun
Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat
murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek
Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani
Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia
persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun
Sri Lanang menjadi Uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M.
Dia mangkat dan dimakamakan di desa Meunasah Leung Samalanga.
Pada masa pemerintahannya, dia berhasil menjadikan Samalanga sebagai
pusat pengembangan Islam di kawasan Timur Aceh. Tradisi itu terus
berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat Sultan Aceh
terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda.
Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai
pujangga melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus
Salatin. MenurutWinstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614
dan selesai Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.
Ketika di Batu Sawar, Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan
sejarah Melayu berasaskan kitab Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang
Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia kembali menyambung pekerjaanya
menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu tersebut di Aceh sampai
lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan
siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh pengarang
-pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap
hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat
aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi
maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan
mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani’il – ‘alam, dan minta huruf
kepada nabi sayyidi’l ‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram;
maka fakir karanglah hikayat ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya
akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “
Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan segala Raja-Raja”.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal
dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga
Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara
diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian
keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri)
disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang
Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi
zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan
hingga sekarang ini.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sejarah Samalanga
Ditulis oleh shafirol Muda Dalam
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://shafirol88-muda.blogspot.com/2012/04/sejarah-samalanga.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh shafirol Muda Dalam
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar